Konbini Goto Volume 2 Chapter 6 Bahasa Indonesia
TL : Kazue Kurosaki (かずえ 黒崎)
ED : Iwo
——————————————————
Chapter 6 – Riku dan Kana
Aku bangun, pertama kali yang kulihat adalah langit-langit yang tertutupi kegelapan.
Aku mengangkat sedikit kepalaku dan mengenali selimut yang tampak menutupi tubuhku.
Walaupun sekitar terlihat gelap, aku menyadari di mana aku berada.
“… Kamarku, ya…”
Sebenarnya, ini adalah rumah Soeda-san. Aku menginap selama beberapa hari dan sudah benar-benar terbiasa.
Sedikit demi sedikit, mataku mulai terbiasa dengan kegelapan. Mungkin juga karena cahaya bulan yang masuk melalui celah tirai.
Siluet benda di sekitar samar-samar mulai terlihat dari dalam kegelapan.
Aku merasa pusing dan lemas, kepalaku rasanya berat. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi sebelum aku tertidur.
Aku bangkit dan secara tidak sadar memalingkan wajahku ke arah kanan – “Ah!” aku berteriak kaget.
Tepat di sampingku, Kana sedang duduk bersila. Kepalanya tertunduk, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya.
Hanya bagian atas kepalanya yang terkena cahaya bulan. Itu terasa aneh.
“Kana?”
“…Guh… uuh…”
Suaranya terdengar ditahan, seolah dia sedang menahan ledakan emosi.
“Kamu baik-baik saja?”
“Aku… tidak tahu…”
“Kamu tidak tahu? Apa maksudmu? Tapi, kenapa aku berada di sini?”
“Aku memanggil orang dewasa untuk membantu… membawa Riku yang pingsan. Mereka bilang kamu terlalu kelelahan.”
“Aku mengerti… lalu bagaimana dengan Ayana?”
“Dia sudah pergi.”
“… Hah?”
“Sekitar dua jam yang lalu, dia telah pergi.”
“Mengapa…?”
“Dia memberi tahuku tentang situasinya… mengenai penyebab kecelakaan…”
“….”
Aku mengingat apa yang terjadi. Kesadaran yang kabur akhirnya pulih, dan aku juga mengingat betapa tidak bergunanya diriku.
“… Ah, aku… lagi-lagi…”
Aku merasa lemah dan jatuh terlentang. Air mata panas menggenang di mataku. Begitu menyedihkan.
Betapa rendahnya diriku ini.
Senyum pengertian Kana yang begitu terlihat ────
Hanya sekejap, sebentar saja aku ragu.
Mendengar tentang penyebab kecelakaan itu… Ini adalah kelemahanku. Aku belum bisa memisahkan diriku dari masa lalu──ini sangat mempengaruhi di saat-saat penting itu.
“Sial, sial… sial! Aku… aku…!”
Aku merasa ingin menangis dari penyesalan dan kemarahan. Aku bahkan tidak bisa membuka mataku sepenuhnya.
Saat itu, jika aku bisa mendekati Ayana dengan mantap…
“… Tidak, itu bukanlah jawabannya.”
Selama ini… Aku telah salah.
Kenangan disaat itu kembali, aku melihat Ayana menangis dan berteriak dengan penuh kegilaan, tapi melihatnya menyalahkan dirinya sendiri dan menderita, itu adalah hal yang pertama kali aku saksikan.
Kana sudah bercerita padaku, tetapi melihat kesedihannya secara langsung tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tidak peduli seberapa banyak kenangan telah dimanipulasi, perasaan itu tetap ada. Terus, dan terus bertahan untuk menghantui.
Berpaling hanya akan mengulangi perilaku yang sama. Pada dasarnya, itu tidak akan memecahkan masalah apa pun.
Apakah cukup jika tidak mengingat hal yang menyakitkan?
…Tidak, itu salah. Jauh berbeda.
Jika aku ingin benar-benar membuat Ayana bahagia… Aku tidak boleh lari.
Tidak boleh berpaling. Aku harus menghadapinya. Aku sendiri harus melakukannya!
Kecelakaan lalu lintas dimulai dengan Ayana. Fakta itu tidak akan pernah terhapus seumur hidupku.
Tidak mungkin aku memalsukan kata-kata apa pun untuk itu.
Tapi, siapa yang lebih menderita? Bukankah itu Ayana?
Dia hidup dengan menyakiti dirinya sendiri, siap untuk menghadapi jalan yang sulit.
Aku akan membawanya kembali. Menuju jalan untuk mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan.
“… Aku tidak punya waktu untuk menangis.”
Aku mengusap air mata dengan kasar dari punggung tangan. Tidak ada gunanya menyesalinya di sini.
Aku harus mengejarnya sekarang juga.
Jika bus atau kereta tidak bergerak, aku akan mengejarnya dengan berlari.
Dengan tekad baru, aku bangkit lagi dan sadar akan sesuatu yang tidak biasa dengan Kana.
“Eh, kamu… sedang… apa?”
Kana sedang–telanjang.
Dia telah benar-benar telanjang, hanya mengenakan pakaian dalam.
Dalam cahaya bulan, bentuk dadanya terlihat, ditekankan oleh pakaian dalam putih yang ia kenakan.
“Apa? Kana, kau sedang melakukan apa…”
Situasinya benar-benar kacau. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan.
Bukan karena aku tertarik pada tubuh perempuan, tapi aku tidak bisa melepaskan pandangan dari pemandangan yang aneh ini.
Sekarang, dia… bahkan mulai melepas pakaian dalamnya.
Kana dalam diam melepaskan pakaian dengan tujuan untuk menelanjangi dirinya sendiri.
Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suara untuk menangapinya.
Bra jatuh ke lantai dengan lembut.
Dengan jarinya yang halus, Kana mengelus pahanya yang mulus lalu melepaskan celana dalamnya.
Walaupun ada cahaya bulan, tapi tetap saja gelap.
Dalam kegelapan, aku tidak bisa melihat seluruh tubuhnya. Aku bahkan tidak punya waktu untuk melihat.
Kenyataan bahwa Kana telanjang menyebabkan kebingungan dalam diriku.
“…”
“Eh?”
Tidak ada kata yang terucap, Kana mendekatiku.
Dia membungkuk dan dengan tegas meraih bahuku, mendorongku dengan kuat.
Tanpa memiliki keberanian psikologis untuk melawan, aku hanya bisa ditekan oleh Kana.
… Apa yang, sedang terjadi?
Kenapa aku ditekan oleh Kana yang telanjang?
Keraguan memenuhi pikiranku.
Aku menatap wajah Kana yang hanya beberapa langkah dari mataku, dan akhirnya sadar.
ED : dan akhirnya sadar bahwa si jhoni sudah berdiri
Meski dalam kegelapan, warna wajahnya yang kemerahan terlihat jelas, namun dia memiliki ekspresi yang menunjukkan bahwa dia telah mengambil keputusan.
….Apa yang terjadi?
Akhirnya, bibir Kana terbuka.
“Riku, jadilah pacarku.”
“────Hah?”
“Aku bilang agar kamu mau menerimaku.”
“Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud.”
Tanpa menjawab pertanyaanku, Kana berkata dengan rasa malu.
“Aku memiliki kepercayaan diri pada wajah dan bentuk tubuhku… Meskipun tidak sebagus punya Ayana, aku bisa melakukan pekerjaan rumah tangga… Meskipun seringkali kita terlibat dalam adu argumen, aku benar-benar tidak pernah menggunakan kekerasan. Selain itu, aku adalah tipe wanita yang setia.”
“Eh, tapi kenapa kamu mengatai dirimu sendiri seperti itu? Aku tidak tahu apa maksudmu sekarang.”
“Aku hanya berpikir kita berdua cocok, tahu? Kita bisa dengan santai berbicara tentang apa saja.”
“Hei, Kana…”
“Ah, tapi mungkinkah Harukaze lebih baik?”
“Ayo kita berpisah dulu.”
“Bagiku, jadi perempuan nomor dua pun tidak masalah, atau bahkan nomor tiga────”
“Tenanglah!”
“────Huh.”
Ketika aku berteriak dengan suara keras, Kana seperti tersadar dan langsung menghentikan ucapanannya.
“Apa yang ingin kamu lakukan?”
“…………Riku, kamu berusaha keras, ‘kan? Sama halnya dengan Ayana juga.”
“Jadi…?”
Dalam keadaan yang tenang, aku mendengarkan Kana yang mulai berbicara.
“Awalnya… Aku pikir hubungan yang terbaik adalah antara dua orang yang saling mencintai. Tapi ketika aku melihat kalian berdua, aku mulai meragukannya.”
“Mengapa?”
“Setiap kali kamu mencoba mendekati Ayana dengan sungguh-sungguh, kalian berdua terluka.”
“…………”
Aku tidak bisa membantah. Itulah yang terjadi kali ini.
“Aku tidak bisa melihat ini lagi… Terlalu menyedihkan. Ini seperti hatiku ditarik-tarik… Hanya dengan melihatnya saja, aku hampir menangis.”
Tetesan air hangat jatuh di pipi kirinya. Air mata dari mata Kana.
“Aku tidak ingin kalian berdua menderita lebih lanjut.”
“Jadi, kamu ingin aku melepaskan Ayana?”
“………… Itu, menurutku, yang terbaik.”
Dengan suara yang penuh penyesalan, tapi tegas, Kana mengatakannya.
“Aku tidak begitu mengerti mengapa itu berujung pada keputusanmu untuk telanjang seperti ini… Tapi ada satu hal yang membuatku marah.”
“Apa itu…?”
“Kamu mengorbankan dirimu sendiri.”
“…………Tidak masalah, aku ini orang yang serendah itu, aku layak diperlakukan seperti sampah.”
“Rendah? Apa itu karena kamu menyukaiku?”
“Ya. Mencintai pacar teman dekatku… Sungguh benar-benar rendah, ‘kan?”
“………… Tapi mungkin itu juga memanglah hal yang bisa terjadi, bukan?”
“…………Mungkin, ada alasan di baliknya?”
“Setelah mengetahui situasi antara kamu dan Ayana? Tidak mungkin. Ini mungkin cerita yang umum dalam hubungan manusia biasa, tapi… kalian berdua berbeda, ‘kan?”
“Meskipun begitu….”
“Aku menciummu.”
“…………Eh?”
“Saat pulang dari pantai. Aku mencium pipimu yang sedang tidur di dalam bus.”
Aku kaget dengan pengakuannya yang tiba-tiba itu.
“Kau tahu, aku benar-benar paling buruk, bukan? Itu sungguh tidak masuk akal.”
Dengan sendirinya Kana tertawa merendahkan diri, dan ia melanjutkan dengan kata-kata lain.
“Aku menyukaimu, Riku. Itulah sebabnya aku melakukan ini… Aku tidak bisa menyangkal bahwa ini adalah keinginan pribadiku… Maaf.”
“…………”
“Tapi, ini adalah langkah terbaik. Tidak ada yang akan menderita. Semua orang bisa menjalani hidup dengan damai dan waktu yang tenang.”
“Apakah kamu yakin tentang itu…”
“Rasa suka yang kamu tunjukkan pada Ayana, bahkan sebagian kecilnya, bisa ditujukan padaku… Itu sudah cukup.”
Dengan sungguh-sungguh, Kana benar-benar percaya bahwa ini adalah langkah yang benar.
Meskipun dia berbicara dengan pelan, tapi tidak ada keraguan dalam kata-katanya.
……………Mungkin ini adalah pertama kalinya.
Aku merasa marah pada orang lain lebih dari pada diri sendiri.
Jika Kana adalah seorang pria, kemarahanku pasti membuatku ingin menghajarnya.
“Jangan main-main…!”
“Riku…?”
“Kamu mengorbankan hidup orang lain dan bahkan mengorbankan hidupmu sendiri!”
“…”
“Kana, kamu yang berkata jangan merendahkan diri sendiri… tapi, sekarang lihatlah dirimu!”
“I-Ini lebih baik begitu!”
“Tidak, ini tidak baik! Kamu, sebagai wanita bernama Kana, tidak boleh mengorbankan hidupmu! Kamu harus menjalani kehidupan yang penuh bahagia… kamu harus menjadi gadis yang diutamakan oleh seseorang! Tidak cukup dengan menjadi nomor dua ataupun nomor tiga, atau dengan sebagian kecil perasaan yang ditujukan padamu… jangan bercanda. Meskipun aku suka kamu, bahkan jika aku mencintaimu, aku tidak akan pernah berhubungan dengan Kana seperti yang kulihat didepanku sekarang!”
“A-Apa yang kamu bicarakan…? Kenapa kamu berkata begitu kejam, Riku? Aku… aku… pikir ini adalah jalan terbaik, jalan agar segalanya bisa teratasi… dan tidak ada yang harus terluka lagi… bahkan tidak ada yang akan menangis… Aku pikir begitu! Aku pikir Ayana pun akan lupa tentang kejadian ini suatu hari nanti!”
“Meskipun kamu harus menjalani kehidupan yang dibuat palsu dengan mengubah kenanganmu?!”
“Lebih baik daripada terluka, ‘kan? Jika kita tidak sadar bahwa itu palsu, maka itu akan terasa nyata!”
“Dan bahkan kamu sekarang ber‘kompromi’!”
“Tapi, tapi…!”
Akhirnya, Kana menangis dengan suara keras. Dia tidak lagi terlihat kuat seperti dulu.
Dia menekankan dahi ke dadaku dan terus menangis. Melihat Kana yang begitu rapuh, kemarahan yang tadinya membuncah dalam diriku mulai mereda.
Aku merasa tenang, menatap langit-langit kamar.
“… Apa yang benar untuk dilakukan? Bahkan apa yang harus dipertimbangkan… Aku tidak tahu.”
Cara kita mencari jawaban mungkin berbeda. Sudut pandang kita pun mungkin berbeda.
Tiba-tiba, aku teringat akan Yono ketika aku melihat Kana sekarang.
Kana dan Yono bergerak untukku. Tindakan keduanya mirip.
Mereka mirip, tetapi mereka memiliki inti yang berbeda.
Kana mengorbankan dirinya sendiri. Dia berbicara dengan alasan bahwa dia menyukaiku, berusaha untuk melarikan diri dari situasi yang sulit dengan mengorbankan hubungan dan hidupnya sendiri.
Lalu Yono berbeda. Dia mendukungku saat aku bingung dan sakit.
Dia memutuskan hubungannya denganku sambil menangis, mendorongku maju. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan senyum cerah.
Meski mengalami sakit dari cinta yang tak terbalas, dia merasa puas.
Itu bukanlah pengorbanan diri. Itu adalah kemajuan. Itu adalah keputusan yang kuat dan tegas tanpa kompromi, cara hidup yang tidak setengah-setengah, menghormati apa yang paling berarti bagi dirinya.
…….Aku mengerti sekarang.
Ketika kita dipaksa ke sudut, kita akhirnya mengenali pikiran sejati kita. Apa yang benar-benar kita hargai dan mengapa kita harus bergerak.
Seperti yang kukira, aku hanya ingin Ayana memiliki kehidupan yang bahagia. Dialah yang seharusnya bahagia.
Ingin bersatu dengan orang yang kamu sukai adalah perasaan yang wajar.
Namun, terkadang dalam situasi yang penuh tekanan dan terjebak oleh batas kemampuan diri sendiri, kita justru mengetahui apa yang paling berharga bagi kita secara jelas.
Kebahagiaan Ayana… Itulah yang harus menjadi prioritas, dan perasaanku sendiri harus diabaikan. Asalkan Ayana bisa menjalani hidup yang bahagia dan bebas dari gangguan, hidup dengan kejujuran…
“Seperti yang Kana katakan, aku hidup seperti hewan dengan emosi. Aku menjadi sangat tulus dalam nafsu, dan mengungkapkan pikiranku secepatnya. Itulah siapa aku. Aku tidak bisa lagi mengubah cara hidup ini. Itulah sebabnya… Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Ayana bahagia… untuk membuatnya tersenyum.”
“Tapi, berapa banyak… penderitaan yang harus kamu tanggung?”
“Tentu saja. Itu yang aku inginkan untuk diriku sendiri.”
“Riku…”
“Aku adalah seorang pria yang tamak. Aku tidak akan berkompromi. Aku akan menangkap Ayana. Aku akan terus berusaha, membuat Ayana tertawa dan bahagia, meskipun dia tidak membiarkan dirinya bahagia, bahkan ketika dia merasa bersalah.”
Ketika mata Kana terangkat, wajahku yang penuh tekad terpantul di matanya.
Wajah kami sangat dekat, hampir saling berhembus napas. Aku tidak tahu berapa lama situasi ini berlangsung…
Kana meremas bibirnya, lalu ekspresinya perlahan mereda seperti dia menyerah.
“Riku… Kamu sebaiknya tidur sekarang. Jika kamu memaksa dirimu untuk terus bergerak, kamu mungkin akan pingsan lagi. Bagi seseorang sepertimu… tidak ada waktu untuk membuang-buang waktu.”
“Baiklah…”
“Ini adalah saran dari seseorang yang membantu.”
Kana menekankan bahwa dia adalah seorang yang membantu – lalu tangan kanannya mengarah ke wajahku.
Aku tidak punya waktu untuk bereaksi. Tangannya lembut menyentuh pipiku. Dia mengelus pipiku dengan penuh kelembutan, sambil bergumam dengan rasa cinta.
“Aku beruntung bahwa pria pertama yang aku sukai adalah Riku.”
Kalimat itu bisa juga diartikan sebagai pernyataan cintanya yang tak terbalas.
Setelah itu, Kana tidak berkata apa-apa lagi. Dia perlahan-lahan bangkit dan duduk.
“Ahh!”
Setelah tenang, Kana menyadari situasi dan segera menutupi dada dengan tangannya.
Cahaya bulan yang samar-samar menerangi pipinya yang merah karena malu. Aku sedikit bingung tentang apa yang harus dilakukan, lalu aku meraih selimut di sampingku dan perlahan-lahan menutupinya, menghindari kontak langsung dengan tubuhnya.
“Kamu tidak perlu khawatir… aku tidak bisa melihat dengan jelas… jadi jangan khawatir.”
“B-begitu, ya… apakah kamu memperhatikannya?”
“Apapun alasannya, itu tidak masalah… tapi jangan lakukan lagi.”
Kana menerima selimut yang aku berikan sambil membungkusnya di tubuhnya.
Aku merasa bahwa dia merasakan suasana hatiku, dan aku memalingkan wajahku untuk melihat ke depan.
Meskipun Kana masih menatapku dengan lembut, dia akhirnya berdiri dan menjauh dariku.
“Apa?”
“Tidak perlu menyesali bahwa kamu menolakku… Lebih tepatnya itu sudah terlambat.”
Bukan kata-kata penuh dendam.
Dengan senyuman meyakinkan, Kana mengatakan hal tersebut dengan nada seperti lelucon.
Sikap percaya dirinya yang tidak tergoyahkan menunjukkan karakter aslinya.
Kana menjauh dariku, satu tangan menjaga selimut agar tidak jatuh dari tubuhnya, sementara tangan yang lain mengambil pakaiannya.
Dia meninggalkan ruangan seolah tidak terjadi apa-apa.
Ketenangan malam kembali memenuhi ruangan, dan kegembiraanku perlahan mereda.
“Si Kana itu… dia mengambil selimutku.”
Tapi, ya, tidak apa-apa. Mengejar dia untuk mengembalikannya sekarang akan terlihat konyol.
Apa yang seharusnya aku lakukan sekarang? Aku harus mengikuti saran dari rekanku itu.
Kututup mataku.
Gambar yang muncul dalam pikiranku adalah wajah lelah Ayana.


Komentar